Merasa Dizalimi, Terdakwa Kasus DID Tidore: Ini Tidak Adil

Sidang perkara dugaan korupsi DID Tidore

PENAMALUT.COM, TERNATE – Terdakwa kasus dugaan korupsi dana insentif daerah (DID) tahap II Kota Tidore tahun 2020, Nuraksar Koja, merasa dizalimi.

Pasalnya, terdakwa yang merupakan pemilik toko tani yang menyalurkan alat pertanian kepada kelompok tani di Tidore itu hanya menerima uang sebesar Rp 711.296.000 sesuai yang dibelanjakan oleh pihak Dinas Pertanian. Sementara anggaran kegiatan ini senilai Rp 2,1 miliar.

Uang 711 juta ini untuk pembelian barang berupa hend sprayer, biotani dan pestisida nabati.

“Yang mengirim uang tersebut adalah kelompok tani Kecamatan Oba Utara, Oba Selatan, Oba Tengah dan Kecamatan Oba. Ini sesuai fakta dalam persidangan,” kata Nuraksar kepada wartawan media ini, Jumat (8/11).

Ia menjelaskan, kegiatan ini pada tahun 2020, namun baru diusut pada tahun 2022 setelah Kepala Dinas Pertanian Imran Yasin dan Taher selaku PPK meninggal dunia.

Dirinya ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan korupsi uang sejumlah Rp 745.241.363 (745 juta). Padahal pada tahun 2021 tidak ada temuan sama sekali terkait masalah ini. Bahkan kegiatan ini juga melibatkan seluruh kelompok tani di Tidore Kepulauan yang berjumllah 1.109 orang.

“Pada tahun 2021 bulan Januari ketika anggaran tersebut cair apakah tidak ada tim verifikasi, Inspektorat dan yang lain terlibat pada saat itu? Kemana mereka, kanapa pada tahun 2023 atau 2024 baru ada hitungan kerugian dari BPKP,” katanya dengan nada tanya.

“Uang dari total 2,1 miliar dikurangi  yang masuk kereking saya senilai 711 juta, sisanya itu kemana? Kok tidak ada pemeriksaan malah saya selaku pemilik toko yang harus menanggung semua kerugian negara,” sambungnya kesal.

Menurut Nuraksar, dalam persidangan seluruh kelompok tani untuk wilayah Oba Utara, Oba Selatan, Oba Tengah dan Kecamatan Oba menyampaikan bahwa semua barang telah mereka terima tanpa ada kekurangan. Bahkan mereka dengan sadarnya telah menandatangani nota pembelian tersebut.

“Kalau saya selaku pemilik toko dibilang korupsi, berarti seluruh kelompok tani tidak akan menerima barang dan saya akan dikenakan tindak pidana penipuan. Sedangkan barang tersebut sudah diterima semuanya,” tuturnya.

Nuraksar melanjutkan bahwa pada tanggal 26 Juni 2024, ketika penuntut umum mengantarkan pelimpahan perkara dan dititipkan di Rutan Kelas II Ternate, dirinya sempat menanyakan kerugian negara kasus tersebut.

“Saya tanya berapa kerugian negara yang menjadi tanggung jawab, kemudian dijawab penuntut umum bahwa untuk untuk saya sendiri sekitar 180 juta. Kemudian saya bertanya lagi, kenapa pada saat penyidikan diminta kepada saya melalui penasehat hukum saya sebesar 380 juta. Lantas dijawab oleh penuntut umum bahwa kenapa saya tidak tawar. Kemudian penuntut umum bilang mereka tunggu niat baik dari saya, kalau bisa dikembalikan saya dituntut ringan,” ungkapnya.

Hal ini juga ia tanyakan saat pulang dari sidang di Pengadilan Negeri Ternate yang saat itu agenda pemeriksaan saksi a de charge. Di dalam mobil tahanan menuju Rutan Ternate, Nuraksar menanyakan kembali ke penuntut umum berapa kerugian negara yang dituduhkan kepadanya. Lalu dijawab penuntut umum sesuai hitung-hitung sekitar 160 juta.

Penuntut umum juga meminta kepada terdakwa mengembalikan sekitar 100 juta agar pihaknya menyampaikan kepada pimpinan, sehingga tuntutannya diturunkan menjadi dua tahun. Penuntut umum juga menyampaikan jika terdakwa tidak mengembalikan 100 juta, maka mereka akan tuntut maksimal termasuk aset-asetnya ditarik.

Pada saat sidang tuntutan, Nuraksar kembali bertanya hal yang sama kepada Alex selaku penuntut umum. Saat itu disampaikan penuntut umum bahwa kerugian negara hanya sekitar 160 juta.

“Saya bilang kenapa pada saat tuntutan yang dibacakan sekitar 700 ratusan juta? Kemudian dijawab oleh penuntut umum mereka tuntut sekitar 700 juta lebih biar nanti saya beritahu kepada keluarga mendiang Kadis Pertanian agar sama-sama ikut mengganti kerugian Negaranya,” ujar Nuraksar.

“Lalu saya jawab gimana bisa Pak Alex? Menurut ibu ketua majelis hakim yang disampaikan di depan persidangan bahwa mereka berdua (Imran Yasin dan Taher) tidak bisa lagi dikenakan pidana, karena sudah meninggal dunia,” sambungnya.

Jaksa penuntut umum saat itu juga meminta maaf kepada terdakwa karena tuntutan tinggi, sebab itu merupakan standar operasional prosedur (SOP) Kejaksaan Negeri Soasio Tidore.

“Saya selaku terdakwa binggung. Apakah kerugian negara bisa ditawar? Apakah kerugian Negara bisa berubah-ubah berdasarkan pernyataan jaksa penuntut umum? Apakah tanggung jawab orang yang meninggal dunia harus dilimpahkan kepada saya untuk menanggung perbuatan yang tidak saya lakukan? Ini tidak adil bagi saya,” tukasnya menutup. (gon/ask)