Penetapan Tersangka Tunggal Kasus DID Tidore, Jaksa Dinilai tak Profesional

Kantor Kejari Tidore

PENAMALUT.COM, TERNATE – Penetapan tersangka tunggal dalam kasus dugaan korupsi dana insentif daerah (DID) tahun 2020 yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Tidore Kepulauan menuai sorotan. 

Anggaran DID tahun 2020 yang melekat di Dinas Pertanian (Distan) Kota Tidore Kepuluan senilai 2,1 miliar itu hanya diterima Nuraksar Kodja selaku pemilik toko tani di Tidore sebesar Rp 711.296.000 (711 juta). Sedangkan perhitungan kerugian tindak pidana korupsi negara berdasrkan LHP BPK sejumlah Rp 745.241.363 (745 juta).

Atas dasar itu kemudian dilakukan penetapan tersangka tunggal terhadap Nuraksar Kodja selaku pemilik toko tani di Kota Tidore. Toko milik Nuraksar ini merupakan tempat yang dipilih untuk belanja peralatan pertanian dari anggaran DID ini.

Direktur LBH Yuris Maluku Utara, Mahri Hasan, mengatakan jika dilihat kasus ini, jaksa harus lebih terbuka dan profesional, karena menetapkan Nuraksar sebagai tersangka hingga menjadi terdakwa yang saat ini menjalani sidang, tidak ada kronologis peristiwa yang jelas untuk membuktikan dugaan korupsinya.

Dari anggaran DID sebesar Rp 2,1 miliar yang diterima terdakwa (Nuraksar) hanya Rp 711.296.000 atau 711 juta sesuai dengan apa yang dibelajakan. Hal ini juga telah dibuktikan dengan nota pembelian. Itu artinya, tidak ada bukti yang menerangkan adanya kerugian negara atau penyalahgunaan yang dilakukan oleh terdakwa.

Apalagi, kasus ini baru diusut oleh jaksa setelah Kepala Dinas (Kadis) Pertanian dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) meninggal dunia. Hal ini menurut Mahri, sangat tidak wajar dalam menentukan satu perbuatan hingga menetapkan seseorang sebagai tersangka.

“Jelas dalam keterangan terdakwa, karena terdakwa sebagai pemilik toko yang sekedar penyedia barang dan terdakwa juga melakukan pengadaan barang sesuai permintaan kelompok tani dan sesuai item. Apalagi soal bukti kerugian negara jaksa tidak memberitahukan dengan jelas berapa nominal kerugiannya,” ujarnya, Minggu (10/11).

Ia menjelaskan, dalam kasus korupsi tidak ada tersangka tunggal, karena pasti ada keterlibatannya banyak orang, seperti ketika proses pencairan anggaran hingga pengadaan barang.

“Secara pribadi saya menilai jaksa telah menunjukkan tidak profesional dalam bekerja. Untuk itu, saya menyarankan kepada keluarga terdakwa agar mengajukan pengaduan ke Jamwas Kejagung sebagai pengawas internal yang bertugas menilai dan mengoreksi kinerja para jaksa sebagimana disebutkan dalam peraturan jaksa agung 006/a/ja/07/2017 Pasal 521 ayat 2 junto pasal 522 huruf b,” sarannya.

Mahri menambahkan, pada aspek lain persoalan tersebut harus disampaikan ke Komisi Kejaksaan (Komja) sebagai pengawas eksternal yang mempunyai tugas yang sama, yakni salah satunya menilai kinerja dan perilaku jaksa sebagaimana disebutkan dalam Perpres nomor 18 Tahun 2011 pasal 3 huruf a dan b.

“Intinya jika dilihat secara detail terdapat perbuatan tersebut bukan melawan hukum, tidak memperkaya subjek hukum orang atau korporasi, dan jika demikian dakwaan JPU tidak terbukti,” pungkasnya. (gon)