PENAMALUT.COM, TERNATE – Dua jurnalis di Ternate, Maluku Utara, diduga mengalami intimidasi dari aparat kepolisian dari Polres Ternate terkait penyebaran flyer seruan aksi demonstrasi.
Flyer tersebut menyerukan aksi mendesak KPU mengambil tindakan terhadap pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Maluku Utara nomor urut 04, Sherly Tjoanda-Sarbin Sehe.
Yunita Kadir, salah satu jurnalis mengungkapkan bahwa dirinya didatangi polisi pada Minggu (1/12) pukul 11 malam tanpa disertai surat tugas. Aparat tersebut datang dengan nada mengancam dan menyatakan bahwa Yunita bisa dijerat dengan UU ITE.
“Mereka menanyakan siapa pembuat flyer itu, karena dianggap bisa memicu kekacauan. Padahal, saya sebagai wartawan hanya menyampaikan informasi bahwa besok ada aksi unjuk rasa,” kata Yunita.
Ia juga mengaku mendapat tekanan untuk bertanggung jawab jika aksi tersebut benar terjadi.
“Sampai demo ini jadi, saya harus bertanggung jawab. Begitu kata mereka,” ujar Yunita menirukan perkataan polisi.
Kejadian serupa dialami seorang jurnalis lainnya, Rajif. Setelah bertemu Yunita, Rajif menerima telepon dari aparat dengan permintaan untuk menandatangani dokumen sebagai saksi terkait flyer tersebut.
Namun, Rajif menolak lantaran tidak ada surat resmi dan waktu yang tidak tepat.
“Karena sudah malam dan tidak ada panggilan resmi, saya menolak datang ke polres maupun didatangi ke rumah,” katanya.
Teepisah, pihak Polres Ternate belum memberikan penjelasan. Kasi Humas Polres Ternate, AKP Umar Kombong, saat dikonfirmasi Selasa (3/12) pagi tadi mengatakan akan mengirimkan rilis melalui WhatsApp. Namun hingga berita ini ditayangkan pada sore ini, belum ada keterangan resmi yang diterima dari pihaknya.
Sementara itu, praktisi hukum Abdul Kadir Bubu, mengecam tindakan aparat kepolisian ini.
Menueutnya, polisi seharusnya berterima kasih, karena informasi ini membantu mereka mengetahui akan ada aksi, bukan malah mengintimidasi jurnalis.
“Datang tengah malam tanpa surat panggilan resmi adalah bentuk teror,” katanya.
Ia juga menyoroti kemungkinan adanya keterlibatan aparat dalam politik.
“Jika ada masalah, panggil dengan prosedur resmi, bukan mendatangi rumah orang tengah malam. Hal seperti ini merusak nama baik kepolisian dan mencederai demokrasi. Demo itu hal biasa, jangan sampai aparat justru terlihat berpihak,” tegasnya.
Dade sapaan akrabnya juga menambahkan, agar oknum polisi yang terlibat segera dipanggil dan dimintai pertanggungjawaban atas tindakan intimidasi tersebut.
“Tindakan seperti ini dinilai tidak hanya melanggar etika, tetapi juga berpotensi mengancam kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia,” pungkasnya. (gon/ask)