PENAMALUT.COM, TERNATE – Sungguh bejat HI alias Hasan, warga Kota Tidore ini. Betapa tidak, Hasan tega menyetubuhi anak angkatnya sendiri, sebut saja Bunga. Perbuatan keji ini dilakukan Hasan sudah beberapa tahun terakhir.
Akibat perbuatannya ini, pria yang kini menginjak usia 60 tahun itu harus mendekam di sel tahanan. Berdasarkan putusan majelis hakim dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Tidore, Selasa (3/12) kemarin, Hasan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.
Hasan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan oleh orang tua sebagaimana dakwaan alternatif kesatu penuntut umum.
Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 10 tahun dan pidana denda sejumlah 300 juta subsider 6 bulan kurungan.
Atas putusan hakim, kuasa hukum korban Suarez Yanto Yunus meminta kepada masyarakat khususnya keluarga dekat untuk tidak mendiskreditkan korban. Sebab terdakwa Hasan telah terbukti berdasarkan putusan pengadilan.
Suarez menyampaikan, putusan a quo ini menunjukan bahwa majelis hakim mengamini tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Pasalnya, subtansi pidana penjara dalam amar putusan a quo sama dengan pidana penjara dalam tuntutan JPU.
Dalam perkara a quo, perbuatan terdakwa telah terbukti bersalah melanggar ketentuan Pasal 81 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan UU Nomor 17 tahun 2016 junto Pasal 55 ayat (1) KUHPidana sebagaimana dakwaan alternatif pertama penuntut umum.
Rumusan ketentuan Pasal 81 ayat (3) UU Nomor 17 tahun 2016 yang dikenakan kepada terdakwa tersebut selain pidana minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun, juga memiliki kualifikasi pemberatan pidana jika pelaku merupakan orang tua korban maka pidana ditambah sepertiga dari ancaman pidana.
Konstruksi pemidanaan yang berat dalam Pasal a quo menujukan bahwa racio legis dari pasal a quo oleh bentuk undang-undang semata-mata melindungi kepentingan hukum korban in this case korban persetubuhan anak dibawah umur.
“Sehingga dalam perkara a quo, seharusnya putusan hakim jauh lebih berat dari tuntutan jaksa,” ujarnya.
Menurutnya, lagi pula dalam hukum acara pidana putusan hakim tidak didasarkan pada tuntutan, tetapi didasarkan pada dakwaan JPU dan segala hal yang terbukti dalam persidangan (vide pasal 182 ayat 4 KUHAP).
Pengenaan sanksi pidana yang berat bagi terdakwa tersebut bukan tanpa alasan, sebab perbuatan terdakwa yang telah melakukan persetubuhan kepada korban sejak korban duduk di bangku kelas 2 SMP hingga kelas 3 SMA, kurang lebih 5 tahun.
Maka perbuatan terdakwa jika diakumulasi menjadi kurang lebih sebanyak 720 kali persetubuhan. Hal ini terungkap dalam fakta persidangan dengan keterangan saksi korban yang diikuti dengan saksi berantai (kettingbewijs).
Kendati demikian, putusan hakim a quo telah mempertimbangkan pernyataan korban atau victim impact statement (VIS) yang diajukan oleh kuasa hukum korban. Sehingga dalam racio decidenti putusan a quo, hakim telah mempertimbangkan pernyataan dimaksud.
Oleh karena itu, putusan hakim yang telah dibacakan melekat prinsip res judicata pro varitate hebetur atau putusan hakim harus dianggap benar oleh semua pihah, baik terdakwa maupun korban.
Suarez meminta kepada semua pihak, khususnya keluarga terdakwa, kerabat atau pihak-pihak tertentu yang sejak semula memang telah mendiskreditkan korban seolah-olah korban telah merekayasa kasus, melakukan pengakuan yang tidak benar, sehingga dianggap sebagai fitnah atau keterangan yang tidak mendasar hingga korban dipukul dan mendapat perlakuan yang sadis dari orang terdekat, karena tidak percaya dengan pengakuan korban.
Namun, fakta telah membuktikan bahwa pernyataan korban yang sejak semula tidak dianggap benar, sekarang telah terbukti di meja hijau pengadilan dengan putusan pemidanaan kepada terdakwa.
“Dengan putusan tersebut, maka peta perjalanan kasus persetubuhan telah selesai,” tandasnya.
“Harapan besar kami, baik korban maupun keluarga korban dapat diterima kembali di tengah-tengah nasyarakat dan korban tidak lagi mengalami kejahatan yang berulang. Apalagi jika kita melakukan pendekatan berbasis korban, maka jelas korban yang masih anak-anak rentan dan berpotensi mengalami atau menjadi korban yang berulang,” sambungnya.
Dari kejadian ini, pihaknya meminta semua pihak, baik keluarga, masyarakat maupun negara untuk bertanggung jawab dalam melakukan legal protection for the victim untuk melingdungi korban kejahatan dari segala bentuk potensi kejahatan yang terjadi disekitar.
“Kepada semua pihak agar menerima dan melindungi korban di tengah-tengah masyarakat,” pintanya menutup. (gon/ask)