Penangkapan Iram Galela tak Bisa Dimaknai sebagai Pembungkaman Kebebasan Berpendapat

Iksan Maujud. (Istimewa)

PENAMALUT.COM, TOBELO – Polda Maluku Utara telah menetapkan Muhamad Iram Galela sebagai tersangka kasus dugaan penyebaran berita fitnah dan pencemaran nama baik terhadap pemilik perusahaan PT NHM. Penetapan tersangka ini terkait dengan tuduhan yang dilontarkan Iram terhadap pemilik perusahaan tambang emas NHM, seorang pengusaha yang dikenal sangat dermawan terhadap masyarakat di Kabupaten Halmahera Utara.

Tuduhan yang disebarkan oleh Iram melalui berbagai media menyebutkan bahwa pemilik NHM, yang selama ini sangat dihormati oleh masyarakat Maluku Utara, terlibat dalam praktik suap terhadap mantan gubernur Maluku Utara. Dan saat ini eks gubernur sedang menjalani hukuman terkait kasus suap proyek dan jual beli jabatan. Namun, tuduhan yang disampaikan Iram tidak terbukti kebenarannya, khususnya terkait dengan izin tambang yang melibatkan pemilik NHM.

Pihak kepolisian telah menetapkan Iram sebagai tersangka atas tindakan penyebaran informasi yang tidak akurat dan merugikan pihak pemilik NHM.

“Penyebaran berita bohong tidak hanya mencemarkan nama baik seseorang, tetapi juga berpotensi memicu ketidakpercayaan publik terhadap individu yang bersangkutan, termasuk pemilik tambang NHM,” ujar kuasa hukum pemilik NHM, Iksan Maujud.

Iksan menegaskan bahwa kliennya, pemilik NHM, tidak terlibat dalam tindakan suap sebagaimana yang dituduhkan oleh Iram.

“Pemilik NHM memiliki kontrak karya yang sah dengan izin yang dikeluarkan langsung oleh negara dan ditandatangani oleh presiden, sama seperti izin pertambangan lainnya. Tuduhan yang disebarkan oleh Iram jelas tidak berdasar,” tegasnya.

Kuasa hukum NHM mengapresiasi langkah tegas pihak kepolisian dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

“Kami berharap agar proses hukum berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan M Iram Galela harus mempertanggungjawabkan perbuatannya,” kata Iksan.

Sementara itu, akademisi Fakultas Hukum IAIN Ternate, Hasanuddin Hidayat, memberikan pandangan terkait kasus ini. Dari perspektif hukum positif, Hasanuddin menjelaskan bahwa penyebaran berita bohong yang merugikan individu atau kelompok tertentu dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang dapat dikenakan pidana penjara hingga 6 tahun atau denda maksimal Rp1 miliar.

“Polisi memiliki kewenangan untuk menyelidiki dan menindaklanjuti laporan yang diajukan oleh kuasa hukum NHM terkait penyebaran berita hoaks ini. M Iram Galela harus menjalani proses hukum yang berlaku,” tegas Hasanuddin.

Hasanuddin juga menambahkan, penegakan hukum terhadap penyebaran berita hoaks merupakan langkah penting untuk menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum yang ada.

“Penyidik yang menetapkan tersangka, menangkap, atau menahan seseorang tentu telah memenuhi unsur-unsur delik yang diatur dalam hukum. Semua tindakan tersebut sah dan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang,” ujarnya.

Kandidat doktor Ilmu Hukum itu menjelaskan terkait perbedaan antara kebebasan menyampaikan pendapat dan pencemaran nama baik. Menurutnya, langkah hukum yang diambil terhadap Iram bukanlah bentuk pembungkaman terhadap demokrasi, tetapi upaya untuk menegakkan hukum dan memastikan kebebasan berpendapat tidak disalahgunakan untuk menyebarkan informasi yang tidak benar dan merugikan pihak lain.

“Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang menghormati kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, masyarakat harus lebih bijak dalam menyaring informasi yang diterima dan memastikan kebenarannya sebelum menyebarkannya,” pungkas Hasanuddin.

Kasus ini menjadi pengingat pentingnya tanggung jawab dalam menyebarkan informasi, serta perlunya menjaga kepercayaan publik terhadap individu maupun institusi. Penegakan hukum terhadap penyebaran berita bohong merupakan langkah krusial untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan memastikan keadilan bagi pihak yang dirugikan. Masyarakat diharapkan semakin bijaksana dalam menerima dan menyebarkan informasi agar tidak terjebak dalam arus disinformasi yang dapat merugikan banyak pihak. (*)