PENAMALUT.COM, TERNATE – Pengelolaan perikanan di Maluku Utara harus menjadi perhatian khusus pemerintah pusat, terutama menyangkut dengan regulasi. Ini karena posisi tawar nelayan di Maluku Utara dalam pengelolaan sumber daya perikanan khususnya pengaturan gross tonage (GT) kapal nelayan yang mengatur jarak tangkap.
Di mana dalam regulasinya, kewenangan pemerintah daerah adalah di bawah 12 mil. Sedangkan di atas 12 mil menjadi kewenangan pemerintah pusat. Padahal, wilayah Maluku Utara adalah wilayah teritorial dan wilayah kepulauan. Sementara dalam ketentuannya di atur bahwa kapal dengan kapasitas lebih dari 30 GT tidak bisa menangkap ikan di bawah 12 mil, begitu juga kapal kurang dari 30 GT tidak bisa menangkap ikan di atas 12 mil.
Inilah yang menjadi keresahan nelayan. Permasalahan ini menjadi perhatian Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Provinsi Maluku Utara. Bahkan lewat Pelaksana Tugas (Plt) Kepala DKP, Fauzi Momole, ingin menyampaikan hal ini dalam pertemuan kunjungan Komisi IV DPR RI yang berlangsung di Royal Resto, Kota Ternate, Selasa (23/9). Sayangnya, pembahasan dalam kunjungan tersebut lebih banyak mengenai kehutanan, khususnya pertambangan.

Fauzi yang ditemui wartawan usai kegiatan kunjungan Komisi IV DPR RI menyatakan bahwa permasalahan ini menjadi keluhan nelayan yang harus diperhatikan oleh pemerintah pusat. Ia mencontohkan nelayan lokal yang menggunakan kapal di atas 30 GT hendak menuju ke fishing ground dan berpapasan dengan gerombolan ikan dengan jarak di bawah 12 mil, maka tidak bisa melakukan penangkapan, karena regulasi tersebut.
“Tentu ini tidak visible dengan pendekatan ekonomi. Orang ekonomi itu berhitung tentang efektivitas dan efisiensi usaha. Sebab mereka memperhitungkan waktu dan biaya yang dikeluarkan,” tuturnya.
Ia berharap pengaturan kegiatan penangkapan ikan itu tidak hanya berdasarkan gross tonage kapal, tetapi juga pada alat tangkap. Sebab, kata dia, semangat dalam pengelolaan sumber daya perikanan ini adalah menjaga ekosistem dan ekologi, sehingga keberlanjutan sumber daya itu tetap terjaga.
Fauzi menyebut regulasi pengelolaan sumber daya perikanan ini hanya pendekatannya filosofis terkait keberlanjutan, padahal dari sisi sosiologis, hal ini tentu berbeda antara wilayah barat, tengah dan timur Indonesia terkait dengan daya dukung lingkungan.
“Misalkan standing capacity kita di wilayah timur dan wilayah barat sudah pasti berbeda. Sehingga kalau sampling itu dilakukan di Jawa dan kemudian mengambil suatu kesimpulan untuk dibuat regulasi, maka tentu tidak berimbang dengan wilayah kita dan perlu dilakukan pendalaman lagi,” ujarnya.
“Dengan regulasi yang telah berlaku sekarang ini, kita meminta ada diskresi atau pemberlakuan khusus. Saya berharap dalam pertemuan Komisi IV itu ada kesempatan agar kita bisa beri pertimbangan dan masukan kepada pemerintah pusat melalui DPR RI,” sambungnya menutup. (ska)