Pro Kontra Perubahan Nama Provinsi Maluku Utara

PENAMALUT.COM, TERNATE – Wacana perubahan nama Maluku Utara yang didengungkan Forum Akademisi Pemerhati Maluku Utara (FAPMU) tampaknya kian mencuat hingga ke ruang-ruang diskursus.

Wacana perubahan nama Provinsi Maluku Utara ini mendapat pro kontra di kalangan akademisi. Ini mencuat dalam dialog yang digagas Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (HIMAPOL) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Maluku Utara yang berlangsung di Kedai Kopi Sabeba, Kota Ternate, Sabtu (18/6) malam tadi.

Dialog yang bertajuk “Urgensi Perubahan Nama Maluku Utara” itu menghadirkan tiga Narasumber dari kalangan akademisi, yakni Dr. Aziz Hasyim, Dr. Murid Tunirio, dan Agus Mawanda.

Dr. Aziz Hasyim lebih dulu menyampaikan pandangannya. Ia mengatakan, pada tahun 1998 ketika perjuangan provinsi dilakukan, gagasan awal namanya adalah Provinsi Moloku Kie Raha. Hanya saja dalam ragam diskursus, perdebatan itu menguat dan menganggap bahwa itu hanya komunikasi yang dipandang tidak merepresentasi Maluku Utara secara totalitas.

Karena itulah, maka ada yang menganggap pilihan nama ini akan mereduksi nama identitas Maluku Utara yang telah dilekatkan sejak puluhan tahun atas nama Kabupaten Maluku Utara. Karena gagasan seperti ini sudah didorong, sehingga lahirlah nama yang disepakati bersama yaitu Provinsi Maluku Utara.

Menurutnya, akan lebih ideal jika tetap menggunakan nama Maluku Utara. Pasalnya, selain tidak meletakan dan tidak mereduksi nama Maluku Utara dari sisi kabupaten untuk dinaikan levelnya secara administratif ke provinsi, juga ini terkait hanya persoalan mendorong peningkatan status administrasi sebagai sebuah provinsi.

Suasana dialog

“Saya kira dengan catatan-catatan itu, kekhwatiran saya jangan sampai keinginan kita untuk melakukan rekognisi identitas geografis Maluku Utara, justru kita mengalami kekeliruan karena alasan elit Jakarta yang tidak mengenal kita di Maluku Utara, sehingga kita menyerahkan sesuatu yang sebenarnya itu punya kita, dan kita sematkan pada orang lain,” ujarnya.

Dosen Fakultas Ekonomi Unkhair Ternate ini menambahkan, ada ribuan sekolah di Malut, mulai dari PAUD hingga Perguruan Tinggi. Andaikan sebuah perubahan nama misalnya Provinsi Halmahera, maka simbolnya akan digantikan semua terkait nama Maluku Utara. Papan nama sekolah, hingga KTP itu diganti hanya lantaran penggalangan kalimat Provinsi Maluku Utara tersebut.

“Bayangkan saja, jumlah instansi di pemerintahan yang ada papan namanya dan instansi badan lembaga yang ada di Maluku Utara, jika semua harus diganti, maka banyak sekali hal yang secara simbolik harus dilakukan perubahan. Kalau dikalkulasi, maka puluhan bahkan miliaran rupiah yang harus dialokasikan untuk perubahan nama. Kalau hanya soal itu, lantas apakah perubahan nama ini menjadi urgen?,” cecar Aziz.

“Jika elit Jakarta mengenal Maluku Utara adalah Ambon, dan bukan Ternate misalnya, berarti elit Jakarta tidak paham tentang sejarah. Mestinya kita merekognisi mindset mereka tentang sebuah nama, bahwa inilah yang sebenarnya Maluku Utara itu di sini, bukan Ambon,” sambungnya.

Berbeda dengan Aziz Hasyim, Murid Tunirio justru mengatakan, nama Maluku Utara jarang dikenal daerah lain lantaran telah dibajak oleh politik kolonial. Pasalnya, ketika disebut nama Maluku Utara, asosiasi orang Jakarta, bahwa Maluku Utara adalah Ambon. Karena itu bagi dia, nama ini penting. Bahkan pihaknya belum punya calon nama provinsi, tetapi mereka hanya punya imajinasi bahwa nama provinsi ini perlu diubah. Sebab ia menginginkan ketika disebut sebuah nama, orang lain langsung tertancap pikirannya terhadap nama itu.

“Sampai sekarang kami belum mengusulkan nama provinsi. Kira-kira nama seperti apa yang akan diberikan? Dan kami tidak akan pernah memberikan nama setelah ada sejumlah rangkaian kegiatan ini, kita akan meneguhkan jejak pendapat kepada rakyat, dan meminta tawaran nama itu kemudian ditawarkan ke DPR,” katanya.

Ia bahkan membuat perbandingan antara Riau dan Malut. Di mana, Riau kala itu dimekarkan pada 2002, namun Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di bawah Maluku Utara. Sementara Malut dimekarkan pada tahun 1999. Menurutnya, tingkat pendapatan per kapita Kepulauan Riau (Kepri) di bawah Maluku Utara dan tingkat harapan hidup orang Kepri itu di bawah Malut saat dimekarkan.

“Tapi apa yang terjadi? IPM Kepri sudah melewati Malut. Ini baru sejumlah hipotesis. Apakah karena Kepri itu menamakan dirinya secara langsung sebagai Kepulauan Riau, sehingga begitu UU tentang penetapan empat provinsi Maluku, Malut, NTT dan Kepri sebagai daerah/provinsi kepulauan. Mereka (Kepri) punya pendapatan lebih tinggi dari DAUM, DAK dan Dana Bagi Hasil (DBH),” ujarnya.

Untuk itu, pihaknya masih memiliki hipotesis, bahwa mereka menduga peningkatan tingkat kesejahteraan pendidikan dan harapan hidup yang tinggi, karena Kepri berani mengklaim diri mereka sebagai Provinsi Kepulauan Riau. Saat Kepri dimekarkan menjadi provinsi, kata dia, ketersediaan listrik hanya 10 persen. Sementara Malut sudah 35 persen saat dimekarkan. Sehingga yang terjadi sekarang, di Kepri semua pulau dan penduduk sudah mendapatkan listrik. Sedangkan Malut masih 25 persen listrik belum menyentuh di sejumlah daerah kabupaten.

“Apakah kita gagal mengklaim diri bahwa kita bukan daerah kepulauan? Hipotesis kami bahwa Kepri begitu cepat maju karena mereka berani mengklaim diri sebagai daerah kepulauan. Karena undang-undang muncul, mereka punya legacy untuk menuntut di Jakarta, bahwa mereka adalah daerah kepulauan,” tutur Murid.

Murid mengkilas balik sejarah, bahwa Nabi Muhammad pernah mengubah nama dari Yastrib ke Madinah. Yastrib dalam bahasa Arab itu menghardik atau membentak. Sehingga dia menduga, Malut tidak pernah maju karena diawali dengan saling membentak. Karena secara imajiner, sambungnya, nama provinsi ini harus diubah, sebagai nama Malut yang asal muasalnya tidak bagus.

“Kita harus mengikuti cara Nabi memberi nama, Madinah Almunawwar artinya kota yang bercahaya, sehingga dengan perubahan nama, orang Yahudi, Nasrani, Muslim dan Kafir Quraisy menyatu dengan nama itu. Begitu juga perubahan nama Turki ke Turkie. Mereka ingin mengatakan bahwa kita sekarang sudah berubah dari pengaruh Kemal Attaturk yang menjadi Turkie menjadi Turki. Sehingga itu, kita harus lakukan hal yang sama untuk mengatakan kepada orang lain bahwa inilah kita dengan nama daerah Maluku Utara, bukan Ambon,” katanya.

Sementara forum yang hadir dalam dialog tersebut menyampaikan isi pikiran mereka terkait polemik perubahan nama Maluku Utara. Irfan Ahmad, dalam kesempatan itu menuturkan, perubahan nama Maluku Utara sangat tidak urgen, tetapi yang paling urgen adalah pergantian Gubernur. Pasalnya, jika orang tidak mengetahui Maluku Utara, berarti pemahaman mereka sangat dangkal tentang sejarah geografis. Kalau orang pusat tidak mengetahui Maluku Utara, itu perlu dipertanyakan.

“Coba kalian hitung berapa tambang yang ada di Malut, semua administrasi itu tercatat dalam negara. Jangan-jangan selama ini administrasi kita keliru, akhirnya pendapatan pertambangan daerah tidak dapat, karena kita keliru dalam persoalan administrasi kenegaraan menyangkut dengan pertambangan ini,” tuturnya.

Kata dia, jika orang pusat melihat Maluku Utara adalah Ambon, maka itu keliru. Maka jangan kita mengikuti mereka, tetapi kita paksakan mereka untuk tahu tentang Maluku Utara. Karena Malut dalam konteks sejarah pernah dikenal. Di era reformasi, Malut dikenal meskipun dalam hal konflik 1999-2001 itu kita dikenal dan mencuat sampai ke negara-negara di Belanda. Dan Malut juga dikenal, karena pemilihan kepala daerah di Indonesia yang pertama kali bermasalah adalah Maluku Utara.

Tak hanya Irfan, pihak Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Malut Saleh Radjiman pun turut menyampaikan pendapatnya terkait perubahan nomenklatur Malut itu. Senada, ia juga mengklaim ide perubahan nama Malut sangat tidak urgen. Bagi dia, yang harus dipikirkan adalah bagaimana membantu pemerintah, DPD RI dan DPR RI yang mewakili Malut untuk bicara soal berapa kabupaten yang diusul harus diloloskan ketika moratorium itu dicabut.

“Kalau masih ada kabupaten lain yang mengusul, kita tambah. Sehingga lahirlah pertumbuhan anggaran di Malut. Kalau mau pertumbuhan anggaran naik, kita dorong kabupaten pemekaran, sehingga pusat memberikan anggaran-anggaran itu kepada wilayah-wilayah pemekaran,” katanya menyarankan.

“Selain itu, jika hanya untuk memperkenalkan sebuah nama di pusat, maka ada hal lain. Saya contohkan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta mencalonkan diri Presiden, begitu pula Ganjar Pranowo. Kalau misalnya Gubernur Malut mencalonkan diri sebagai presiden, maka nama Maluku Utara serentak akan dikenal sampai ke tingkat nasional,” tuturnya.

Sementara Akademisi Fakultas Hukum, Abdul Kadir Bubu pada kesempatan juga tidak sepakat dengan perubahan nama Malut. Soal perubahan nama, menurut dia, sangat tidak urgen. Sebab problem mendasar yang harus didorong sebagai akademisi adalah, janji pemerintah pusat tentang Sofifi sebagai Ibukota yang hingga kini belum terealisasi.

Ia bilang, Pemprov tidak punya keberanian apapun untuk melawan pemerintah pusat. karena itu, pemerintah tahu bahwa uang tidak mungkin dikucurkan tanpa dasar hukum.

“Sebagai akademisi, kita harus realistis sampai mengeluarkan petisi dan memaksakan pemerintah untuk melakukan hal-hal yang realistis. Karena sampai saat ini, Sofifi hanyalah sebuah desa, bukan kota. Sebuah kawasan bukan nama dari sebuah ibukota provinsi,” ucapnya.

“Silakan lihat UU Nomor 49 pasal 9 tahun 1999. Sebenarnya kita sebagai akademisi harus punya cara dan komitmen untuk mendorong, agar pemerintah bisa bersikap jelas untuk mendorong secara akademik untuk melawan pemerintah pusat. Karena akar permasalahan yang paling fundamental adalah regulasi yang bermasalah, status ibukota provinsi yang tidak jelas, sehingga pembangunan pun tidak pernah jalan,” pungkasnya. (tan/ask)

Respon (11)

  1. Ping-balik: browning shotguns
  2. Excellent post. I was checking continuously this blog and I’m impressed! Extremely useful info specially the last part πŸ™‚ I care for such information a lot. I was seeking this particular info for a very long time. Thank you and best of luck.

  3. There are some attention-grabbing deadlines on this article however I don’t know if I see all of them middle to heart. There’s some validity however I will take hold opinion until I look into it further. Good article , thanks and we wish more! Added to FeedBurner as well

  4. Yesterday, while I was at work, my sister stole my iphone and tested to
    see if it can survive a 30 foot drop, just so she can be a youtube sensation. My iPad is now
    broken and she has 83 views. I know this is
    entirely off topic but I had to share it with someone!

  5. Masalah Paling Pokok adalah; Ibu Kota Propinsi, Sofifi di Mekarkan Jadi Kota. Ambil Contoh Analoginya Sebua Rumah Tanggah Kalau Belum di Akui Secara Agama dan Peemerintah itu Artinya Masi, Dalam.Proses Persinaan πŸ™πŸ™πŸ™

Komentar ditutup.