Opini  

2024: Perebutan “Kursi Panas” Maluku Utara

Oleh: Renaldi M. Larumpa, S.H., M.H., C.PS
Kader GMNI Malut
_____

SETELAH menyaksikan hiruk pikuk Pilpres diawal tahun 2024 yang berakhir di Mahkamah Konstitusi. Kali ini di penghujung tahun yang sama kita akan menentukan pemilik “kursi panas” di masing-masing daerah (tingkat provinsi dan kabupaten/kota) secara serentak. Menjadi lagu wajib kita mendengarkan ide dan gagasan abstrak (visi-misi) dari setiap kandidat yang berdiri pada panggung politik yang apik pada lidah-lidah cerdik. Masing-masing kandidat menabur janji dan mendulang suara dengan strategi yang sudah usang ditonton. Mulai dari kata-kata indah sebagai akronim dari nama kandidat, hingga slogan-slogan kemenangan yang penuh harapan dan menjanjikan.

Kontestasi politik ini (Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara), kita akan disuguhkan jejak-jejak yang baik dan buruknya dari setiap kandidat. Yang mungkin akan jadi bulan-bulanan publik (netizen), serta menjadi materi serang-serangan antar pendukung fanatik kandidat yang saling menjatuhkan. Begitu juga akan banyak citra-citra positif yang akan diolah sebagai bahan mengumpulkan pundi-pundi suara di masyarakat (vox populis vox dei: suara rakyat suara Tuhan).

Dengan jumlah pemilih tetap di Maluku Utara (Malut) sebanyak 942.076 pemilih (KPU Prov. Malut: 2024), akan menentukan satu pasangan calon (Paslon) dari empat kandidat yang terdaftar di KPU Provinsi Malut. Kita tahu bersama kondisi Malut yang hari-hari ini tidak baik-baik saja, banyak yang perlu kita benah kembali. Seperti halnya kondisi pendidikan, kesehatan, infrastruktur, kesejahteraan, pemanfaatan SDA, keuangan daerah, kondisi lingkungan, kebudayaan dan lainnya. Kondisi tersebut menjadi isu penting yang harus diselesaikan oleh siapapun nanti yang duduk di “kursi panas”.

Apalagi kita dihadapkan pada kenyataan masa transisi kepala daerah yang gelap jalan, menjadi tantangan bagi pemimpin berikutnya. Sehingga kelayakan dari kandidat akan diuji dan ditakar oleh setiap pemilih yang cerdas. Momentum seperti ini, rakyat sering kali gelap mata dengan politik praktis yang tidak sehat, baik politik uang (money politic) maupun politik identitas. Sangat massif terjadi, bahkan sangat agresif dimainkan dari oknum-oknum tak bertanggungjawab di setiap Pilkada, sampai-sampai Malut disebutkan zona merah praktik politik uang (Bawaslu Prov. Malut: 2023). Hal ini yang mestinya kita cegah dan putuskan mata rantai politik praktis seperti itu.

Dalam hal pilih pemimpin, saya teringat ungkapan seorang Guru Besar Filsafat yakni Romo Franz Magnis Suseno, S.J bahwa “pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi mencegah yang terburuk berkuasa”. Ini menjadi attention bagi setiap pemilih untuk memberikan hak suaranya. Bukan berarti setiap kandidat adalah buruk, tetapi juga mereka semua tidak dapat dikatakan terbaik. Namun paling tidak, di antara mereka yang terpilih mampu bertanggungjawab pada kebahagiaan rakyat Kie Raha yang amat kaya ini (konsep dari pemikiran Plato tentang tujuan dari filsafat politik, Efatha: 2023).

Rakyat harus selektif memilih pemimpin, sebab ketika rakyat memilihnya, maka rakyat ikut bertanggungjawab atas nasib Malut ke depan. Oleh sebab itu, beberapa kriteria yang dapat dilihat dari keempat kandidat tersebut, kita contek dari konsep pemikir politik tentang idealnya seorang pemimpin.

Pertama: pengaruh, menurut John C. Maxwell bahwa seorang pemimpin harus punya pengaruh. Rakyat harus lihat seberapa berpengaruhnya Paslon yang akan dipilih yang mampu mereka tunduk pada perintahnya dan mengikutinya. Kedua: kekuasaan (the power), dalam konteks ini calon pemimpin harus mampu berkuasa, agar rakyatnya bergantung padanya (Harries Madiistiyanto: 2019). Ketiga: kemampuan, seorang pemimpin harus cerdas dan punya kemampuan untuk memimpin dan menjadi teladan bagi pengikutnya (M. Sobry Sutikno: 2018).

Lebih dalam lagi menurut pengamat politik Rocky Gerung (2024), bahwa pemimpin harus punya Etikabilitas, Intelektualitas dan Elektabilitas. Artinya dalam konteks ini rakyat harus menakar setiap kandidat bahwa harus ada ketiga kriteria itu. Pertama, seorang calon pemimpin harus memiliki moral dan etika yang tinggi, agar dalam kepemimpinannya dapat melahirkan keputusan dan kebijakan yang memanusiakan manusia serta mampu menahan diri. Kedua, seorang calon pemimpin harus memiliki pengetahuan dan ilmu yang cukup untuk menciptakan peradaban baru yang penuh kebahagiaan dengan strategi yang tidak biasa. Ketiga, seorang calon pemimpin harus dikenali masyarakatnya dan memiliki citra yang baik dengan rekam jejak yang bisa dipercaya serta memiliki hubungan baik dengan masyarakatnya.

Memperdalam kriteria itu, Plato (1998) merupakan seorang filsuf Yunani yang berguru pada filsuf terkemuka yaitu Socrates, memberikan kriteria bahwa pemimpin yang ideal dalam pandangannya adalah pemimpin yang mengerti filsafat (Efatha: 2023). Filsafat tentang kepemimpinan dan kehidupan, agar eksistensi mereka setelah menjadi pemimpin Malut, benar-benar memahami akar permasalahan tidak berkembangnya Malut dan cara keluar dari masalah yang paling mendasar. Ia juga mengatakan bahwa pemimpin harus siap mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan rakyatnya (Bertens: 1993). Plato juga menegaskan bahwa pemimpin harus berpedoman pada prinsip-prinsip keadilan sejati (Efatha: 2023). Sama dengan itu, Julius sebagai konsultan bijaksana di era Romawi Kuno yang terkenal, menegaskan bahwa pemimpin harus adil dan tidak berpihak (Dion Yulianto: 2023).

Secara sederhana calon pemimpin harus, religious, intelek, integritas, adil, visioner, responsif, ber-power, tidak koruptif, strategis, pejuang dan solutif. Hal-hal demikian menjadi poin penting untuk menentukan pilihan masyarakat Malut dalam Pilkada Tahun 2024 pada bulan November mendatang (apakah keempat kandidat memiliki kriteria itu?).

Sebagai penutup, saya mengutip kata John C. Maxwell bahwa “Kepemimpinan bukan tentang kekuasaan, tetapi tentang pelayanan”. Dan sebagai kader GMNI Malut, saya mengenyam motto filosofi perjuangan bahwa pemimpin harus memiliki jiwa pejuang dan berjiwa pemikir (Pejuang Pemikir-Pemikir Pejuang). (*)