Potret Anak Jalanan Kota Ternate Dikupas dalam Seminar Psikologi

Mini Seminar Psikologi Komunitas. (Istimewa)

PENAMALUT.COM, TERNATE – Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Wilayah Maluku Utara bersama Himpunan Mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara dan Program Studi Psikologi UMMU menggelar Seminar Mini Psikologi Komunitas di Kafe Sabeba, Kota Ternate, Sabtu (21/12) malam.

Kegiatan yang mengusung tema ā€œPotret Anak Jalanan dan Peran Pemerintah Kota Ternateā€ ini merupakan pengganti dari ujian akhir semester (UAS) mata kuliah Psikologi Komunitas pada mahasiswa semester III yang diampu oleh dosen psikologi, Syaiful Bahry.

Seminar tersebut menghadirkan empat narasumber. Mereka adalah Ketua Prodi Psikologi Unkhair sekaligus anggota HIMPSI Malut Amalia S.J Kahar, dosen Sosiologi UMMU Herman Oesman, Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Ternate Aflan Arif, dan Kepala Dinas Sosial Kota Ternate Burhanuddin Abdul Kadir.

Keempat narasumber berbicara menyangkut dengan anak jalanan di Kota Ternate dalam perspektifnya masing-masing. Diskusi tersebut dimoderatori oleh anggota HMPS Psikologi UMMU, M Gautar Rahangiar.

Dalam sambutannya, Syaiful Bahry, menyampaikan dengan maraknya perkembangan infrastruktur dan teknologi, membuat semua orang berlomba-lomba memanfaatkan teknologi sebagai kebutuhan sehari-hari, baik dalam aspek ekonomi, pendidikan maupun politik. Hal ini membuat semua orang lupa akan budaya serta tradisi yang berlangsung di Kota Ternate. Bahkan, tingkat saling peduli antar sesama manusia juga semakin hari semakin menurun.

Kota Ternate, baginya, dahulu tidak ada yang namanya anak-anak jalanan yang sering muncul di pusat kota seperti yang terjadi sekarang dengan berbagai aktivitasnya, seperti mengamen, berjualan di lampu merah, Benteng Oranje, dan tempat-tempat lainnya.

“Tempat-tempat ini yang menjadi fokustrasi anak-anak untuk bermain. Selain itu, mereka juga memanfaatkan waktu untuk berjualan dengan alasan bahwa hanya untuk memenuhi kebutuhan keseharian dalam hal pendidikan serta uang jajan yang dimaksud,” ucap Syaiful.

Bila di-kroscek lebih jauh, kata dia, anak-anak yang sering melakukan aktivitas sedemikian rupa, ternyata masih menduduki bangku pendidikan formal di tingkat SD, SMP, SMA, bahkan ada yang sudah putus sekolah.

“Ini menunjukkan bahwa minimnya peranan orang tua dalam melakukan pengawalan terhadap anak-anak mereka agar tidak terlibat ke lingkungan yang nantinya membawa mereka ke hal-hal yang buruk, seperti memakai obat-obatan, minum minuman keras, menghirup lem sampai pada melakukan perzinaan tanpa sepengetahuan orang tua,” ujarnya.

Selain itu, sambung Syaiful, Pemerintah Kota Ternate melalui Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan juga memiliki peran dalam mengontrol agar ke depannya sudah tidak ada lagi hal-hal yang berkaitan dengan anak jalanan yang dilantarkan oleh orang tua mereka, dan diharapkan secepatnya dapat diatasi.

Pandangan Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan tentang anak jalanan di Kota Ternate

Diskusi yang dipaparkan oleh keterwakilan Dinas Sosial mengusung sub tema ā€œPeran Dinas Sosial dalam Penanganan Anak Jalanan di Kota Ternateā€. Orientasi pembahasannya mengarah pada landasan hukum dan kebijkan pemerintah, yaitu UU No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, memberikan payung hukum dalam penanganan anak jalanan, serta UU No 35 Tahun 2014 tentang perlindungan dan pemberdayaan sosial, mengatur tentang peran pemerintah dalam menangani masalah sosial.

Dengan menggunakan data di tahun 2022 bahwa ada sekitar 20 anak yang tersebar di beberapa titik yang menjadi tempat perkumpulan mereka untuk beraktivitas.

Anak jalanan dalam perspektif Dinas Sosial merupakan masalah sosial yang kompleks di Kota Ternate. Peran Dinas Sosial menjadi krusial dalam upaya penanganan yang efektif dan berkelanjutan. Namun yang menjadi latar belakang permasalahan anak jalanan adalah kemiskinan dan pengangguran.

“Bahwa kemiskinan dan pengangguran yang tinggi mendorong anak-anak untuk mencari nafkah di jalan hingga berefek sampai ke faktor keluarga dan pendidikan, karena keluarga yang tidak harmonis, broken home, dan kurangnya pendidikan orang tua dapat menyebabkan anak beraktivitas di jalanan,” ujar Burhanuddin.

Selain itu, kata dia, pada tingkat pendidikan yang rendah, putus sekolah, dan kurangnya akses pendidikan berkualitas dapat mendorong anak-anak ke jalanan. Karena itu, lewat tugas dan fungsi Dinas Sosial adalah melakukan perlindungan, pendidikan, rehabilitasi, dan pemberdayaan.

“Bahwa yang semestinya memberikan perlindungan dan bantuan hukum kepada anak jalanan agar mendapatkan akses pendidikan formal dan nonformal kepada anak jalanan yang lebih layak,” kata dia.

“Selebihnya, melakukan rehabilitasi sosial dan psikososial kepada anak jalanan, dan memberdayakan anak jalanan melalui pelatihan keterampilan dan usaha minat dan bakat,” sambung Burhanuddin.

Dinas Sosial juga meminta kolaborasi multipihak untuk penanganan yang efektif dalam meningkatkan sumber daya, kesadaran masyarakat, dan koordinasi antar instansi sangat diperlukan.

Sementara, pandangan Dinas Pendidikan dengan menggunakan UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak, dan Perwali Kota Ternate No 3 Tahun 2020 tentang perubahan anggaran yang menyangkut dengan kota layak anak.

Dalam penyampaian materinya, Aflan meminta agar Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) membangun kolaborasi untuk melakukan pendampingan terhadap anak-anak yang putus sekolah di Kota Ternate.

“Dalam pendidikan formal yang putus sekolah ketika diidentifikasi, ternyata orang tuannya yang tidak mampu. Sehingga menyebabkan ada beberapa siswa yang berada di Kampung Makassar juga mengalami hal yang sama,” ucap Aflan.

Potret anak jalanan dalam perspektif psikologi

Namun dalam diskursus tersebut juga mempunyai pandangan bahwa ā€œPotret Anak Jalanan dalam Perspektif Psikologiā€, berbicara pada tingkatan anak-anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan atau tempat umum, dan tanpa pengawasan orang tua atau keluarga.

Amalia menggunakan konsep WHO dalam melihat anak jalanan di Kota Ternate, seperti a ā€˜child of the streetsā€™ (anak jalanan), a child ā€˜on the streetsā€™ (seorang anak di jalanan), dan a part of street family (bagian dari keluarga jalanan). Namun yang terjadi di Kota Ternate adalah a ā€˜child of the streetsā€™ tentang anak jalanan, karena anak yang sudah tidak ada rumah dan hidupnya hanya di jalanan.

“Dulunya, Kota Ternate belum ada fenomena seperti mengemis di jalanan, namun sekarang sudah banyak yang beraktivitas di jalanan, bahkan hal-hal yang tidak diinginkan pun terjadi seperti menggunakan lem, alkohol, dan pergi ke tempat-tempat prostitusi,” ujar Amalia.

Menurutnya, fenomena dalam keluarga sering terjadi bentrok antara orang tua dan anak dalam mengasuh. Itulah mengapa, anak-anak sering di jalanan. Andaikan mereka mendapatkan lingkungan yang positif, maka sudah tentu pergaulan juga positif dan begitu pun sebaliknya.

“Anak-anak jalanan biasanya berpindah dari kota yang satu ke kota yang lain, dalam aspek psikologi mempunyai dampak terhadap anak-anak yang hidup di jalanan. Ketika kita melakukan suatu penelitian, maka kita harus tahu apa sih yang mereka inginkan dari anak-anak jalanan. Karena itu, dibutuhkan keamanan dan keadilan, termasuk kesadaran masyarakat juga cukup penting untuk anak muda pada suatu lingkungan,” katanya.

Amalia berpandangan bahwa hal sedemikian harus butuh kolaborasi dengan beberapa pihak untuk melakukan penanganan terhadap anak jalanan, juga pada pemberdayaan komunitas fokustrasinya pada komunitas untuk melakukan penyadaran tentang anak-anak yang tidak terkontrol.

“Juga peran orang tua sangat penting untuk melakukan penanganan terhadap anak. Selebihnya, anak jalanan adalah masalah yang makin kompleks dan butuh perhatian serius dari berbagai pihak,” imbuhnya.

Potret anak jalanan (tinjauan sosiologi)

Yang lebih menarik lagi dari diskusi ini adalah ā€œPotret Anak Jalanan dalam Tinjauan Sosiologiā€ yang dipaparkan oleh Herman Oesman. Ia menjelaskan bahwa data anak jalanan tidak ada untuk Kota Ternate. Hal itu sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Herman lewat koordinasi komunikasi oleh Dinas Sosial, namun tidak direspons baik oleh sang kadis.

Herman menerangkan, anak jalanan merupakan salah satu fenomena masalah sosial yang kompleks dan multidemensi. Anak jalanan juga merupakan anak-anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalan untuk bekerja, mengemis, atau mencari nafkah. Sebagian di antaranya tinggal di jalan tanpa pengawasan orang tua.

Lewat pengalaman yang dialami Herman ketika menanyakan anak-anak yang beraktivitas di jalanan, sebagiannya ternyata bukan asli dari Kota Ternate, tapi dari luar daerah. Bagi Herman, ini masalah serius, apalagi agenda-agenda Pemerintah Kota Ternate pun tidak ada pembahasan menyangkut dengan anak.

Berdasarkan data yang digunakan KPAI (2022), ada 17.262 kasus kekerasan anak, data BPS (2022), 2,5 juta anak dari usia 7-12 tahun tidak bersekolah, data PPPA (2022), 1,2 juta anak perempuan menikah sebelum 18 tahun. Artinya, bahwa tidak ada keseriusan dari Pemerintah Kota Ternate dalam melakukan penanganan tentang anak jalanan.

“Problem yang paling mendasar berkaitan dengan disfungsi orang tua di Maluku Utara sering ditemui bahwa anak dan ayah minum minuman keras bersama-sama, juga anak-anak yang tidur di masjid tapi tidak sembayang, lalu hanya mengambil hak milik orang lain. Padahal anak-anak yang tinggal di pinggiran jalanan juga mempunyai kelebihan yang harus dikembangkan oleh Pemerintah Kota Ternate,” ujar Herman.

Ia menjelaskan penyebab hadirnya anak jalanan yakni kemiskinan, disfungsi keluarga, ketimpangan sosial, dan minim akses pendidikan. Dalam tinjauan sosiologi, perspektif struktural fungsional adalah tidak memiliki akses, dipengaruhi integrasi sosial melahirkan korban ketidaksetaraan sosial, dan perburuk kondisi.

“Seringkali stigma sebagai anak yang nakal dan tak bermoral, padahal dalam kondisi seperti itu mereka mampu beradaptasi dengan lingkungan dan bisa bertahan hidup. Bahkan yang lebih parah lagi anak jalanan mengalami korban eksploitasi, namun sistem sosial dan pemerintah gagal memenuhi kebutuhan dasar, dan memaksakan anak hidup di jalan,” katanya.

Karena itu, upaya penanganan yang disarankan yaitu pendekatan struktural, penguatan keluarga, rehabilitasi dan edukasi, serta pemberdayaan masyarakat. Sebab anak jalanan merupakan potret dan cermin dari ketimpangan sosial di masyarakat.

“Ini bukan fenomena masalah individu, tetapi akibat dari struktur sosial yang tidak adil. Karena itu, penanganan membutuhkan pendekatan komprehensif dan pelibatan berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, dan keluarga. Bila intervensinya tepat, maka anak jalanan dapat keluar dari siklus kemiskinan dan membangun masa depan yang lebik baik,” pungkas Herman. (tan)