Oleh: Nokiskar Samuel Hulahi
Sekretaris GMKI Cabang Ternate
______________________
SETIAP tanggal 21 April, dinding-dinding media sosial kita dipenuhi dengan ucapan āSelamat Hari Kartini.ā Perempuan dari berbagai usia mulai dari anak-anak hingga dewasa ramai mengunggah foto mengenakan kebaya, meniru sosok Kartini sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangannya. Tradisi ini terus berlangsung dari tahun ke tahun, seakan menunjukkan bahwa Kartini adalah simbol emansipasi perempuan Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, peringatan ini kerap menampilkan Kartini sebagai satu-satunya ikon perjuangan perempuan. Padahal, sejarah bangsa ini mencatat banyak perempuan lain yang juga berjuang dengan gagah berani melawan penjajahan di medan perang, ranah politik, maupun dunia pendidikan.
Sehingga timbullah pertanyaannya di antara kita: mengapa hanya Kartini yang mendapat tempat istimewa dalam narasi nasional? RA Kartini memang salah satu tokoh perempuan yang sangat penting. Kita mengenal Dia sebagai pemikir progresif pada zamannya dan pejuang pendidikan perempuan dari kalangan orang terhormat di pulau Jawa. Surat-suratnya kepada sahabat-sahabat di Belanda, seperti yang kemudian dihimpun dalam Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang), membuka wawasan tentang ketimpangan sosial dan menjadi refleksi penting dalam membentuk kesadaran kebangsaan. Ia menulis, “Saya hendak melihat perempuan memperoleh kebebasan, bekerja, belajar, dan berdiri di samping laki-laki sebagai kawan, bukan sebagai hamba.”
Namun, menjadikannya satu-satunya ikon perjuangan perempuan adalah bentuk reduksi sejarah, seolah-olah pejuang perempuan Indonesia hanya Kartini seorang. Kita lupa bahwa perjuangan perempuan Indonesia tidak tunggal, tidak seragam, dan tidak hanya berlangsung di Jawa. Kita sebut saja Nukila, perempuan bangsawan dari Kesultanan Tidore yang menjadi Istri Sultan Ternate, pada abad ke-16. Setelah wafatnya sang suami pada tahun 1521, ia menjabat sebagai wali raja bagi putranya, Sultan Hidayatullah, dan memegang kekuasaan penting dalam menghadapi pengaruh bangsa Portugis. Karena keberaniannya, ia difitnah, ditangkap, dan diasingkan ke Goa, India, oleh Portugis. Ini adalah bukti nyata bahwa penjajahan tidak hanya menaklukkan wilayah, tapi juga berupaya menghapus jejak perempuan-perempuan yang menantangnya.
Atau Martha Christina Tiahahu, gadis 17 tahun dari Maluku yang ikut mengangkat senjata melawan Belanda bersama ayahnya, Kapitan Paulus Tiahahu. Ia gugur dalam pembuangan karena menolak makan sebagai bentuk perlawanan. Atau Maria Walanda Maramis dari Minahasa, yang memperjuangkan hak pendidikan dan suara politik perempuan melalui organisasi PIKAT pada tanggal 8 Juli 1917. Atau Rohana Kudus dari Sumatera Barat, yang mendirikan sekolah dan surat kabar perempuan pertama sebagai wujud perjuangannya dalam bidang pers dan literasi. Serta masih banyak lagi dari Sulawesi, Nusa Tenggara, Kalimantan, hingga Papua adalah bagian dari tokoh perjuangan bangsa ini yang turut mewarnai dalam catatan panjang sejarah Indonesia. Sayangnya, nama mereka nyaris tak pernah hadir dalam buku pelajaran atau peringatan nasional. Sejarah yang terlalu Jawa-sentris dan patriarkis membuat kita hanya mengenal sebagian kecil dari realitas bangsa. Narasi besar tentang perempuan Indonesia tidak boleh hanya berhenti pada satu tokoh, satu wilayah, dan satu jenis perjuangan. Kita perlu meluaskan perspektif dan mulai merayakan keberagaman kontribusi perempuan dalam membentuk republik ini.
Memperingati Hari Kartini seharusnya menjadi ruang refleksi: bahwa Kartini bukan satu-satunya tokoh perempuan, dan bahwa emansipasi perempuan telah diperjuangkan oleh banyak tokoh di berbagai wilayah Nusantara dengan cara yang sama mulianya. Maka, sudah saatnya kita meninjau ulang kurikulum sejarah nasional agar lebih inklusif terhadap tokoh perempuan dari berbagai daerah dan menjadikan Hari Kartini sebagai momentum merayakan seluruh perempuan pejuang Indonesia serta memanfaatkan media sosial dan ruang budaya untuk menghidupkan kembali narasi yang terlupakan. Kartini adalah bagian penting dari sejarah kita. Tapi Indonesia terlalu luas dan kaya untuk disederhanakan oleh satu nama saja. Sudah waktunya kita membuka kembali lembaran-lembaran sejarah yang terlupakan, dan memberi tempat yang layak bagi perempuan-perempuan hebat dari seluruh penjuru negeri. (*)