Opini  

Dunia Tanpa Pikiran

Oleh: Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU

____________________

Di tengah ancaman teknologi, perlu dihidupkan kembali humanisme

TULISAN ini merupakan respon atas buku yang ditulis Franklin Foer, berjudul : World Without Mind : The Existential Threat of Big Tech (2017). Foer, mengangkat isu yang jarang dibicarakan secara serius dalam wacana publik, yakni bagaimana raksasa teknologi seperti Google, Facebook, Amazon, dan Apple tidak hanya mengatur hidup manusia secara praktis, tetapi juga mengancam kebebasan berpikir dan individualitas manusia.

Buku ini merupakan peringatan tajam tentang bahaya konsolidasi kekuasaan intelektual oleh segelintir korporasi teknologi yang mendikte bagaimana orang mengakses, membentuk, dan memahami pengetahuan.

Foer, seorang jurnalis dan mantan editor The New Republic, menulis buku ini sebagai bentuk pembelaan terhadap nilai-nilai Pencerahan—akal, rasionalitas, dan kebebasan intelektual—yang menurutnya sedang digerus oleh logika algoritmik dan dominasi digital.

Di balik kemudahan layanan daring dan konektivitas, Foer melihat bahaya yang mendalam. Foer menulis : “Kita telah menyerahkan terlalu banyak pemikiran kita kepada perusahaan-perusahaan yang memonopoli internet” (Foer, 2017 : 3).

Foer menyebut ancaman dari perusahaan teknologi sebagai eksistensial, karena menyentuh inti dari kebebasan manusia, yakni kemampuan untuk berpikir secara mandiri. Menurut Foer, dominasi perusahaan teknologi terhadap infrastruktur informasi telah menjadikan mereka sebagai penjaga gerbang pengetahuan (gatekeepers of knowledge), menggantikan posisi yang sebelumnya diisi oleh institusi media, perpustakaan, dan pendidikan tinggi.

Google, misalnya, dengan proyek ambisiusnya Google Books, mencoba “mengarsipkan seluruh pengetahuan manusia”, tetapi pada saat yang sama menjadi satu-satunya penyaring utama informasi yang dikonsumsi setiap hari. “Misi yang dinyatakan Google-untuk mengatur informasi dunia-adalah misi yang megah dan imperialistik” (Foer, 2017 : 45).

Dalam pandangan Foer, misi ini tidak netral. Ia merupakan bentuk kolonisasi atas cara berpikir dan akses terhadap informasi.

Salah satu tema utama buku ini adalah krisis otonomi individu. Dalam masyarakat digital, di mana algoritma mengatur konten yang dilihat dan berita yang dikonsumsi, pilihan pribadi tidak lagi benar-benar otonom. “Choice has been engineered away,” tulis Foer, “Kita telah mengalihdayakan ingatan, konsentrasi, dan bahkan keingintahuan kita” (Foer, 2017 : 78).

Ia menyebut fenomena ini sebagai bentuk outsourcing of the self—manusia menyerahkan fungsi-fungsi kognitif dasarnya kepada sistem algoritmik.

Foer mengaitkan fenomena ini dengan kemerosotan jurnalisme dan krisis budaya membaca. Ia menyesalkan bagaimana nilai-nilai intelektual yang dulu menjadi dasar jurnalisme kini dikorbankan demi klik dan engagement. “When clicks replace judgment, the result is a cascade of sensationalism and superficiality”.

[Ketika klik menggantikan penilaian, hasilnya adalah rangkaian sensasionalisme dan kedangkalan] (Foer, 2017 : 109).

Di bagian akhir buku, Foer mengusulkan perlunya gerakan kultural yang menolak dominasi teknologi atas pikiran manusia. Ia menyerukan pembangkangan terhadap algoritma dan menghidupkan kembali semangat humanisme yang menjunjung tinggi kebebasan berpikir, diskusi terbuka, dan pendidikan liberal. “Kita harus mendapatkan kembali nilai dari otak manusia sebagai penyaring utama,” tulisnya (Foer, 2017 : 178).

Foer juga menyarankan pembatasan kekuasaan Big Tech melalui regulasi, transparansi algoritma, serta penguatan institusi-institusi intelektual alternatif. Ia percaya bahwa masih ada ruang untuk melawan, tetapi waktu semakin sempit. “It’s not too late to resist, but the longer we wait, the more irreversible our surrender becomes”

[Belum terlambat untuk melawan, tetapi semakin lama kita menunggu, semakin tidak dapat diubah lagi penyerahan diri kita] (Foer, 2017 : 186).

Buku ini mendapat pujian karena keberaniannya mengangkat tema yang tidak populer di tengah euforia digital. Namun, beberapa kritikus menyatakan bahwa argumen Foer kadang bersifat terlalu personal dan tidak selalu disertai data empiris yang kuat. Misalnya, ia banyak berbicara dari sudut pandang pengalaman pribadinya di dunia jurnalisme, yang meski menarik, tidak selalu mewakili kompleksitas perubahan budaya digital secara keseluruhan.

Namun demikian, buku World Without Mind tetap relevan, terutama di tengah meningkatnya kesadaran publik terhadap privasi data, kecanduan media sosial, dan ancaman kecerdasan buatan. Ketika masyarakat makin menyadari bahwa teknologi bukan sekadar alat, tetapi juga struktur kekuasaan, buku Foer menjadi panduan penting dalam menavigasi era digital dengan kesadaran kritis.

Akhirnya, sekalipun buku ini terbit 2017, tetapi buku World Without Mind merupakan seruan agar kita tidak menyerahkan sepenuhnya proses berpikir kepada mesin dan algoritma. Franklin Foer mengingatkan bahwa mempertahankan otonomi berpikir dan kebebasan intelektual bukan sekadar nostalgia, melainkan kebutuhan mendesak dalam dunia yang makin dikendalikan oleh logika pasar teknologi.

Dalam era ketika pikiran manusia menjadi komoditas, buku ini merupakan ajakan untuk merebut kembali kebebasan berpikir yang otentik dan mendalam. (*)

error: Content is protected !!