Ahli Pidana dan Ahli Pertambangan Kuatkan Dakwaan Jaksa, Sebut Pembuatan Patok Melanggar Aturan

Dua saksi ahli yang dihadirkan dalam sidang lanjutan kasus pemasangan patok yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

PENAMALUT.COM, JAKARTA – Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menggelar sidang lanjutan kasus pemasangan patok di area izin usaha milik PT Wana Kencana Sejati (WKS) dengan terdakwa Awwab Hafizh selaku Kepala Teknik Tambang dan Marsel Bialembang selaku Mining Surveyor PT Wana Kencana Mineral (WKM), Rabu (22/10).

Sidang kali ini masih dengan agenda pemeriksaan saksi ahli. Ada dua saksi ahli yang dihadirkan, mereka adalah Dr. Chairul Huda selaku saksi Ahli Pidana dan Ahli Pertambangan dari ESDM Dr. Ogi Diantara. Keterangan kedua saksi ini menguatkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap dua terdakwa dalam perkara ini.

Ahli pidana Dr. Chairul Huda menjelaskan bahwa dalam Pasal 162, perbuatan menghalang-halangi/merintangi usaha pertambangan harus berupa kegiatan fisik. Kegiatan tersebut harus menyebabkan usaha pertambangan pihak yang terhalangi tersebut menjadi terhambat/terganggu. Begitu juga dalam Pasal 50, perlindungan dalam kawasan hutan.

“Artinya pihak-pihak tidak boleh melakukan kegiatan tanpa izin di kawasan hutan. Jika memang itu adalah jalan yang sudah ada (eksisting), jalan angkut misalnya, tapi kemudian ada pembuatan patok yang di kawasan hutan tanpa izin untuk menduduki, memanfaatkan dan memakai secara kehutanan di tempat itu, maka mengakibatkan pelanggaran undang-undang kehutanan,” jelasnya.

Sementara Ahli Pertambangan, Dr. Ogi Diantara, menjelaskan bahwa dalam hal tanah tersebut adalah hutan, maka harus memiliki izin khusus dalam kawasan hutan, yaitu Izin pakai kawasan hutan yang dahulu namanya IPPKH. Kegiatan usaha pertambangan di kawasan hutan oleh pemegang IUP harus memiliki izin khusus dalam kawasan hutan, yaitu izin pakai kawasan hutan/ IPPKH.

Pada dasarnya, kata dia, kegiatan usaha pertambangan dapat dilakukan di mana saja, dalam hal kegiatan tersebut dilakukan di kawasan hutan, maka pemilik IUP wajib mengurus terlebih dahulu atau memiliki izin dalam kawasan hutan yaitu izn pakai kawasan hutan tersebut.

“Pemilik IUP dapat membangun sendiri jalan, namun apabila tidak dapat membangun sendiri, maka dapat bekerjasama dengan pihak lain, yang tentu akan disesuaikan dari sisi keselamatannya,” terangnya.

“Begitu juga tidak ada aturan ekplisit maupun implisit bagi pemegang IUP yang mewajibkan pemegang IUP untuk mengamankan wilayah IUP-nya,” sambungnya menegaskan.

Sidang akan dilanjutkan pada Rabu 29 Oktober 2025, dengan agenda pembuktian saksi dan ahli dari terdakwa.

Sekadar diketahui, PT WKS dan PT Position sebelumnya sudah melakukan perjanjian kerja sama untuk pinjam pakai jalan angkutan. PT WKS merupakan perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan atau kayu.

PT Position sudah bekerja sesuai ketentuan permen LHK Nomor 7 Pasal 370 dan Permen LHK Nomor 8 Pasal 42. Di mana diperbolehkan untuk melakukan kerja sama penggunaan jalan dengan PBPH, dalam hal ini PT WKS.

PT WKM pada lokasi jalan yang disengketakan tidak mempunyai IPPKH, sehingga tidak berhak melakukan penyetopan, penghalangan dan membuat portal, karena lokasi tersebut adalah lokasi HPT, sehingga harus mempunyai izin kehutanan, dan izin tersebut dimiliki oleh PBPH PT WKS yang bekerja sama dengan PT Position.

PT Position tidak melakukan penambangan ilegal di luar IUP-nya, tetapi melakukan kegiatan rekonstruksi dan upgrading jalan sesuai kerja sama dengan PBPH PT WKS, di mana jalan tersebut akan digunakan oleh kedua belah pihak (PT WKS dan PT Position) untuk kegiatan produksi. (ask)

error: Content is protected !!