PENAMALUT.COM, TERNATE – Tim hukum Kristian Wuisan alias Kian, Dr. Hendra Karianga, menilai dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak cermat dan jelas.
Ini disampaikan Hendra dalam sidang lanjutan perkara dugaan suap terhadap Gubernur Maluku Utara nonaktif Abdul Gani Kasuba (AGK) yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Negeri Ternate, Rabu (13/3).
Dalam eksepsi itu, Hendra menilai dakwaan JPU batal demi hukum, sebab bertolak dari ketentuan dasar surat dakwaan yang telah tim terdakwa uraikan diatas. Ini terlihat nyata dalam surat dakwaan yang disusun oleh penuntut umum KPK yang mendakwa diri terdakwa a quo tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), karena penuntut umum KPK tidak menguraikan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan kepada diri terdakwa Kristian sebagai fakta surat dakwaan JPU, baik pada dakwaan kesatu maupun kedua.
Dalam berkas perkara yang tim hukum terdakwa mempelajari dan meneliti, ternyata sejak awal proses penanganan perkara terhadap diri terdakwa Kristian tidak melalui proses penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu. Lebih tegasnya terdakwa Kristian ditetapkan sebagai tersangka tanpa diperiksa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 5 dan Pasal 1 angka 2 KUHAP.
Hal mana cacatnya proses penanagan perkara a quo, karena laporan kejadian pidana korupsi yang dibuat oleh KPK Nomor LKTPK-95/LID.02.00/22/12/2023 yang diterbitkan tanggal 19 Desember 2023 dan pada hari dan tanggal itu juga (tanggal 19 Desember 2023) diterbitkan surat perintah penyidikan dengan Nomor Sprin.Dik/161/DIK.00/01/12/2023 tanggal 19 Desember 2023 dan pada tanggal 19 Desember 2023 melalui pres conference (jumpa pers) KPK, kepada terdakwa langsung diumumkan sebagai tersangka.
Padahal terdakwa belum pernah diperiksa baik sebagai saksi maupun tersangka, dan terdakwa bukan bagian dari operasi tangkap tangan (OTT) penyidik KPK, yang terjadi terdakwa baru diperiksa sebagai tersangka nanti pada tanggal 23 Desember 2023.
Fakta ini membuktikan proses penanganan perkara a quo tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana. Penyidik KPK dalam menangani perkara atas nama terdakwa Kristian lebih pada mengunakan pendekatan crime control model, di mana lebih mengutamakan kecepatan dalam penanganan perkara pidana dan menyampingkan hak-hak dasar individu yang dilindugi hak asasi manusia (HAM).
Sebab dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana dalam putusan MK Nomor: 21/PUU-XII/2014, sistem peradilan pidana Indonesia adalah sistem peradilan pidana yang telah menerapkan prinsip due process of law, yaitu dalam penegakan hukum pidana prinsip kehati-hatian dan memperhatikan HAM adalah yang paling pertama diperhatikan dalam melakukan tindakan hukum berupa tindakan paksa terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, bahkan sampai pada persidangan di pengadilan. Salah satu bentuk penerapan prinsip due process of law adanya asas praduga tak bersalah.
Dengan fakta ini, maka terlihat nyata surat dakwaan JPU a quo dibuat atas dasar penyimpangan terhadap hukum, dalam hal ini penyimpangan terhadap pelaksanaan KUHAP. Sehingga konsekuensi hukum dari surat dakwaan JPU yang dibuat atas dasar produk penyidikan yang illegal dan dijadikan dasar pemeriksaan di Pengadilan Tipikor ini harus dinyatakan batal demi hukum (null and void), sebagaimana diatur pada Pasal 143 ayat (3) KUHAP, bahwa surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.
Terdakwa pada tahun 2020 melakukan pekerjaan proyek jalan ruas Tolabit-Toliwang- Kao dengan nilai Kontrak Rp 21.813.662.246 (21,8 miliar) dan proyek rekontruksi peningkatan kapasitas struktur jalan Togoreba Tua-Tolabit dengan nilai Kontrak Rp 28.275.428.661 (28,2 miliar), atas pekerjaan tersebut terdakwa memberikan uang senilai Rp 55 juta kepada Abdul Gani Kasuba saat ini berstatus sebagai tersangka melalui Zaldi H Kasuba selaku Ajudan Abdul Gani Kasuba pada tanggal 7 Juli 2020.
Dari uraian dakwaan JPU a quo tidak secara jelas menyebutkan uraian peristiwa (kronologi) kapan dan di mana waktu pelaksanaan lelang (tender) pekerjaan proyek jalan Tolabit-Toliwang-Kao dan proyek jalan Togoreba Tua-Tolabit yang dikerjakan terdakwa dan uraian adanya keterkaitan dengan uang Rp 55 juta yang diminta Abdul Gani Kasuba.
Hal tersebut membuktikan dakwaan JPU hanya bersifat asumsi semata, karena tidak menguraikan secara cermat dan lengkap korelasi antara pekerjaan proyek yang dilakukan terdakwa dengan pemberian uang senilai Rp 55 juta.
Secara fakta uang senilai Rp 55 juta tidak ada hubungan dengan pekerjaan pelaksanaan tender proyek jalan Tolabit-Toliwang-Kao dan proyek jalan Togoreba Tua-Tolabit tersebut diminta Abdul Gani Kasuba untuk keperluan bantuan sosial. Atas fakta tersebut, maka terlihat uraian dakwaan JPU terbukti dibuat secara tidak cermat dan tidak lengkap. Dengan demikian, surat dakwaan JPU a quo batal demi hukum (null and void).
Selanjutnya, setelah tim hukum terdakwa Kristian mempelajari surat dakwaan penuntut umum mulai dari halaman 2 sampai halaman 6 yang menguraikan bahwa terdakwa selaku Direktur Utama PT. Birinda Perkasa Jaya dan terdakwa sebagai tim sukses dari AGK pada pemilihan Gubernur Maluku Utara periode 2019-2024, di mana keterlibatan terdakwa sebagai tim sukses dari AGK adalah suatu hak konstitusional setiap warga negara dan sistem Pemilu saat ini sangat membutuhkan tim sukses baik dari kalangan pengusaha maupun rakyat jelata dan bukan suatu perbuatan pidana.
Oleh karena itu, jika AGK setelah terpilih menjadi Gubenur Maluku Utara menyampaikan terdakwa dapat memilih dan mengikuti tender paket pekerjaan di lingkup Pemerintah Provinsi Maluku Utara tidak serta merta paket pekerjaan langsung diberikan kepada terdakwa.
Namun terdakwa mendapat paket-paket pekerjaan tersebut melalui proses tender yang dilakukan oleh Pokja Pelelangan. Pakat-paket pekerjaan tersebut juga telah ditayang melalui LPSE, maka sangat wajar terdakwa yang adalah seorang pengusaha jasa kontruksi mencari tahu syarat-syarat tentang paket-paket pekerjaan tersebut yang ditayang melalui LPSE. Jika uraian dakwaan penuntut umum tentang Abdul Gani Kasuba selaku Gubernur Maluku Utara memerintahkan kepada Pokja pada Biro Pengadaan Barang dan Jasa (BPBJ) Provinsi Maluku Utara agar memenangkan perusahaan yang digunakan terdakwa Kristian Wuisan dalam lelang paket pekerjaan di lingkungan Pemerintah Provinsi Maluku Utara, maka itu di luar kewenangan terdakwa. Karena terdakwa sebagai pengusaha hanya mencari informasi lewat LPSE dan kemudian menyiapkan dokumen tender yang disyaratkan oleh Pokja pada Biro Pengadaan Barang dan Jasa (BPBJ) kemudian mengikuti proses tender.
Sedangkan pada uraian dakwaan penuntut umum tidak terdapat uraian fakta bahwa terdakwa secara aktif mempengaruhi maupun menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu baik kepada Pokja pelelangan maupun kepada AGK selama proses pelaksanaan tender/pelelangan berjalan.
Jika dalam uraian dakwaan penuntut umum halaman 3 sampai 6 pada dakwaan pertama dan pada dakwaan kedua halaman 7 sampai 11, bahwa terdakwa mendapatkan proyek pekerjaa peningkatan pada tahun 2020 yakni jalan ruas Tolabit-Toliwang-Kao (hotmix) pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dengan nilai kontrak Rp 21.813.662.246 dengan menggunakan PT. Birinda Perkasa Jaya dan rekonstruksi peningkatan kapasitas struktur jalan Togoreba Tua-Tolabit (DAK Reguler) pada Dinas PUPR dengan nilai kontrak Rp 28.275.428.661 dengan menggunakan PT. Birinda Perkasa Jaya.
Kemudian pada tahun 2021 terdakwa mendapat pekerjaan rekonstruksi/peningkatan kapasitas struktur jalan (Khusus Provinsi) Galela-Kedi pada Dinas PUPR dengan nilai kontrak Rp 34.581.457.905 dengan menggunakan PT. Birinda Perkasa Jaya dan pembangunan jalan Leloto-Tobelo Timur pada Dinas PUPR dengan nilai kontrak sekitar Rp 1.249.097.581 dengan menggunakan CV. Sumi Karya Mandiri.
Tahun 2022 terdakwa mendapatkan pekerjaan peningkatan jalan ruas Malifut-Ngoali (hotmix) tahap II pada Dinas PUPR dengan nilai kontrak Rp 4.650.878.892 dengan menggunakan CV. Birinoa Perkasa, pembangunan jalan (alih trase) ruas Galela-Kedi pada Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) dengan nilai kontrak Rp 2.652.266.034 dengan menggunakan CV. Birinoa Perkasa. Pembangunan jalan permukiman Yaro Kabupaten Halmahera Utara pada Dinas Perkim dengan nilai kontrak Rp 1.910.836.304 dengan menggunakan CV. Birinoa Perkasa dan pembangunan jalan permukiman Yaro Kabupaten Halmahera Utara pada Dinas Perkim dengan nilai kontrak Rp 1.862.317.020 dengan menggunakan CV. Sumi Karya Mandiri.
Tahun 2023 terdakwa mendapat pekerjaan pembangunan Coolstorage 30 Ton di Kabupaten Halmahera Utara pada Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dengan nilai kontrak Rp 3.773.152.827 dengan menggunakan CV. Birinoa Perkasa. Pembangunan sarana dan prasarana Sentra KP Kabupaten Halmahera Utara pada DKP dengan nilai kontrak Rp 5.363.432.240 dengan menggunakan CV. Ifthi Anugerah. Penanganan Long Segmen (pemeliharaan rutin, berkala, peningkatan/rekonstruksi) jalan ruas Togorebatua-Tolabit pada Dinas PUPR dengan nilai kontrak Rp 14.024.212.211,00 dengan menggunakan CV. Birinoa Perkasa dan pembagunan jalan permukiman Mawea-Tobelo Timur Kabupaten Halmahera Utra pada Dinas Perkim dengan nilai kontrak Rp 850.158.000 dengan menggunakan CV. Sumi Karya Mandiri.
Dari uraian dakwaan JPU jika ditotalkan jumlah nilai kontrak proyek yang dikerjakan oleh terdakwa sejak tahun 2020 sampai dengan 2023 sebesar Rp 115.829.805.435 (115 miliar).
Sedangkan keseluruhan uang yang diminta oleh AGK kepada terdakwa sejak tahun 2020 sampai dengan 2023 sebagaimana yang diuraikan dalam dakwaan JPU hanya sejumlah Rp 3.505.000.000 atau 3,5 miliar lebih. Dengan demikian, jika dihitung persentasi dari uang yang diminta oleh AGK sejak tahun 2020 sampai dengan 2023 sebesar Rp 3,5 miliar, lebih maka persentasinya hanya 3,03 persen.
Dari persentasi yang hanya sebesar 3,03 persen dari total nilai proyek sejak tahun 2020-2023, ini membuktikan tidak ada perjanjian fee antara terdakwa dengan AGK, tetapi apa yang diminta oleh AGK kepada terdakwa sejak tahun 2020-2023 adalah permintaan sumbangan sosial oleh AGK selaku Gubernur Maluku Utara saat itu yang disumbangkan kepada kegiatan sosial dan keagamaan.
Dari rumusan dakwaan JPU bahwa AGK meminta terdakwa untuk memberikan uang, maka disini terlihat elemen deliknya tidak melukiskan bahwa terdakwa yang secara aktif memberikan sesuatu kepada pegawai negari atau penyelenggara negara atau memberi hadiah atau janji, karena faktanya AGK selaku Gubernur yang meminta uang kepada terdakwa, rumusan delik pada dakwaan pertama Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 perubahan atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana lorupsi junto pasal 64 ayat (1) KUHPidana dan rumusan delik pada dakwaan kedua, pasal 13 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana junto pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Jika itu inisiatif datang dari AGK untuk secara aktif meminta uang kepada terdakwa secara berulang-ulang kali sejak tahun 2020 sampai 2023 dengan jumlah total Rp 3,5 miliar lebih. Ini membuktikan unsur elemen delik pada dakwaan pertama maupun kedua yang dituduhkan kepada terdakwa adalah tidak tergambar adanya mens rea dari diri terdakwa, karena faktanya keinginan untuk memberi itu datang dari permintaan AGK bukan dari terdakwa, atau dorongan untuk memberikan uang bukan datang dari terdakwa. Tetapi atas permintaan AGK, maka posisi terdakwa dalam perkara a quo adalah korban dari perilaku birokat yang korup.
Dari fakta ini, maka terlihat rumusan delik yang diuraikan oleh JPU dalam surat dakwaannya adalah tidak cermat, tidak jelas dan tidak secara lengkap dalam menguraikan elemen delik dari fakta perkara a quo atau secara materiil tidak memberikan gambaran secara bulat dan utuh tentang perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Sebab pemberian uang oleh terdakwa kepada AGK karena atas permintaan AGK, sehingga elemen delik memberi atau janji yang di dakwakan kepada diri terdakwa, adalah tidak dirumuskan secara cermat dan lengkap.
Sehingga menurut yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) Nomor 33K/Mil/1985, yang menyatakan Karena surat dakwaan tidak dirumuskan secara cermat dan lengkap dakwaan dinyatakan batal demi hukum junto Yurisprudensi MA RI Nomor 808K/Pid/1984 tanggal 6 Juni 1985, yang menyatakan dakwaan tidak cermat, jelas, dan lengkap sehingga harus dinyatakan batal demi hukum.
Berdasarkan alasan-alasan hukum yang telah diuraikan diatas, sudilah kiranya yang mulia majelis hakim pada Pengadilan Tipikor Ternate berkenan menjatuhkan putusan sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan keberatan/eksepsi terdakwa Kristian Wuisan untuk seluruhnya.
Menyatakan surat dakwaan penuntut umum tersebut tidak cermat, jelas, lengkap dan batal demi hukum atau setidak-tidaknya menyatakan menolak seluruh dakwaan tersebut atau menyakan dakwaan tersebut tidak dapat diterima.
Membebaskan terdakwa Kristian Wusian dari semua dakwaan JPU baik dakwaan pertama atau kedua setelah putusan ini dibacakan dan dilaksanakan.
Mengembalikan atau memulihkan harkat dan martabat terdakwa tersebut seperti semula dan membebankan biaya kepada Negara.
Apabila yang mulia majelis hakim berpendapat lain, mohon putusan yang adil seadil-adilnya. (gon/ask)