Kajati Malut dan Dua Anak Buahnya Dilaporkan ke Kejagung

Kantor Kejaksaan Agung

PENAMALUT.COM, TERNATE – Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Maluku Utara, Budi Hartawan Panjaitan, dilaporkan ke Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Kejaksaan (Komjak).

Laporan tersebut terkait liburan di Pulau Meti Kabupaten Halmahera Utara usai memperingati Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) ke 63 beberapa waktu lalu.

Dalam laporan itu juga menyebut Kajati diduga melakukan pembiaran terhadap oknum jaksa yang menangani perkara narkoba dengan terpidana Qumar Myrdal. Tidak hanya Kajati yang dilaporkan, Asisten Pengawasan (Aswas) Kejati Fachrizal selaku terlapor III dan Jaksa atas nama Fanti selaku terlapor I juga turut dilaporkan dalam kasus yang menyeret Qumar Myrdal itu.

Mahri Hasan selaku pelapor kepada wartawan menyampaikan, Kajati dilaporkan terkait liburan ke Pulau Meti Kabupaten Halmahera Utara pada tanggal 24 Juli 2023 usai memperingati HBA ke 63. Itu sebabnya Kajati selaku terlapor II tidak melaksanakan kewajibannya di Kantor Kejaksaan Tinggi Malut. Terlapor II memilih berlibur di Pulau Meti Kabupaten Halmahera Utara ketimbang berkantor.

“Terhadap informasi tersebut, maka dengan ini kami meminta kepada pimpinan Kejaksaan Agung RI agar dapat memeriksa dan/atau mengevaluasi terlapor II,” ujarnya, Senin (21/8).

Selain itu, kata dia, terlapor II juga dilaporkan terkait tindakan pembiaran terhadap oknum jaksa yang menangani perkara narkoba dengan terpidana Qumar Myrdal.

Laporan terkait pelanggaran kode etik ini sudah dimasukkan ke Komisi Kejaksaan (Komjak) dan Kejagung RI pekan lalu.

Ia bilang, perkara narkoba dengan terpidana Kumar Myrdal tidak dilakukan eksekusi terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum. Padahal pada tanggal 19 April 2021 lalu, pemberitahuan putusan kasasi telah disampaikan dan diterima oleh terlapor I (oknum jaksa), namun terlapor I tidak melaksanakan eksekusi atas isi putusan dimaksud.

Tindakan terlapor I yang tidak melaksanakan eksekusi putusan pemidanaan tersebut secara nyata dan terang bertentangan dengan ketentuan Pasal 270 KUHAP, Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman junto Pasal 30 ayat (1) UU Kejaksaan Republik Indonesia.

“Tindakan ini sesungguhnya merupakan tindakan yang tidak patut dilakukan oleh terlapor I sebagai eksekutor atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,” katanya.

Pada tanggal 12 September 2021, lanjut pelapor, terpidana secara terbuka melakukan konferensi pers di beberapa media online di Ternate.  Setelah konferensi pers tersebut, maka publik Maluku Utara lalu mengetahui bahwa ternyata putusan terpidana a quo tidak dieksekusi oleh terlapor I. Padahal faktanya terlapor I telah menerima pemberitahuan putusan kasasi sejak tanggal 19 April 2021.

“Lantas pertanyaan hukumnya adalah apa dan mengapa terlapor I tidak melaksanakan eksekusi atas putusan a quo itu,” tandasnya.

Pelapor lain, M. Afdal Hi. Anwar menyatakan, di lain sisi dalam banyak kasus tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus Kejati secara kelembagaan selalu melaksanakan eksekusi putusan pengadilan dengan dasar petikan putusan sebelum adanya pemberitahuan putusan pengadilan, namun dalam perkara a quo ini Kejati Malut tidak bertindak demikian meskipun telah ada pemberitahuan putusan.

“Hal ini patut dicurigai, ada apa dengan terlapor I dan institusi Kejati Malut secara kelembagaan,” bebernya.

Menurutnya, berdasarkan tanggal pemberitahuan putusan kasasi 19 April 2021 kemudian terpidana melakukan konferensi pers pada 12 September 2021, maka dapat dihitung bahwa selama kurang lebih lima bulan terpidana dibiarkan berkeliaran secara bebas.

“Mengapa demikian? Terlapor I ada di mana, sehingga putusan a quo tidak dieksekusi dan mengapa terlapor II dan terlapor III juga tidak mengevaluasi dan melakukan pengawasan atas tindakan terlapor I yang tidak melaksanakan eksekusi atas putusan a quo?,” kesalnya.

Sementara praktisi hukum, Ahmad Rumasukun mengatakan, setelah adanya pemberitaan di beberapa media online sebagaimana pelaporan tersebut, maka Kejati Malut melakukan pencarian atau penelusuran atas keberadaan terpidana. Dan hasil pencarian menyatakan bawah terpidana telah melarikan diri, sehingga Kejati menetapkan terpidana sebagai daftar pencarian orang (DPO) hingga sampai saat ini.

Penetapan status terpidana sebagai DPO oleh Kejati Malut menurut pelapor merupakan upaya para terlapor untuk berlindung diri dari kelalaian atau kesengajaan atas tidak dilaksanakannya eksekusi atas putusan a quo.

Ahmad menyebut tindakan terlapor II dan terlapor III setelah mengetahui putusan a quo tidak dieksekusi hingga saat ini, namun terlapor II dan terlapor III acuh terhadap ekusi putusan tersebut.

Sikap terlapor II dan terlapor III dalam konteks a quo adalah bagian dari tindakan pembiaran atau dengan kata lain sikap tersebut merupakan upaya untuk melindungi terlapor I secara institusional. 

“Mestinya terlapor II dan terlapor III memeriksa/mengevaluasi dan/atau memberikan sanksi kepada terlapor I,” tuturnya.

Tidak dilaksanakannya eksekusi atas putusan dimaksud, maka tindakan para terlapor terkualifikasi sebagai pelanggaran kode etik jaksa sebagaimana yang diatur dalam peraturan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor PER-014/A/JA/11/2012 tentang kode etik jaksa juncto Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-2/A/JA/03/2011 tentang penyelenggaraan pengawasan Kejaksaan Agung juncto Peraturan Kejaksaan Agung Nomor PER-015/A/JA/07/2012 tentang perubahan atas Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-2/A/JA/03/2011 tentang Penyelenggaraan Pengawasan Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

“Kami harap agar Kejaksaan Agung dan Komjak RI dapat memberikan sanksi tegas kepada para terlapor,” harapnya mengakhiri. (gon)

Respon (2)

Komentar ditutup.